a Z (Story of 13 December 2013)



Z (13-12-13)
Let me share this.
              Waktu itu hari jumat. Hari yang singkat, biasa dibilang begitu. Karena di sekolahku tak ada kegiatan –cukup penting-, maka aku memutuskan untuk kembali ke kos.
Niat pertamaku bukan begitu. Esok sekali aku pergi ke sekolah dengan menjinjing tasku yang sudah menemani langkah perjuangan selama tiga tahun, ada banyak kenangan yang tersimpan di tas itu, maka hingga kini aku belum berniat untuk menggantinya dengan yang baru. Toh, kondisinya masih layak. Agendaku hari itu adalah melihat daftar remidi dan kumpul angkatan. Alhamdulillah nilaiku masih memenuhi KKM, sehingga aku tidak perlu mengikuti remidial dan bisa dibilang bebas (read: nggak ada kerjaan). Setelah itu, aku menunggu teman-teman angkatanku di depan laboratorium biologi I, dengan harapan aku dapat memantau kehadiran teman angkatan di lapangan tengah sekolah yang terletak di depan lab biologi.  Sudah lama aku menunggu, hingga penat itu akhirnya tiba. Dengan berat hati, akhirnya aku melakukan kegiatan lain.
Apakah kau ingin tahu apa yang ku lakukan? Ternyata, aku belum pensiun sebagai tukang nguber-uber  orang. Profesi menyebalkan dan melelahkan itu sudah ku emban sejak SMP, langganan borongan jika akhir semester tiba. Karena minggu ini minggu remidi dan audisi, maka sekolahku tidak mengadakan absen. Oleh karena itu, banyak temanku yang tidak menampakkan diri di sekolah. Padahal hari itu ada lomba MC dan kelasku belum mengirimkan jago. Bukannya aku tak mau jadi MC, aku tahu teorinya dan bisa saja mengajari orang, namun aku selalu mengalami demam panggung. Ketua kelas entah hilang kemana, MMPK nggak ada, perangkat kelas pada kabur, alhamdulillah ketemu OSIS. Dengan perjuangan hebat, akhirnya kami bisa nyolong salah satu teman kami yang lagi latihan paski. Sip, MC cewek udah dapet, tinggal MC cowok. Parahnya, setiap teman cowokku yang ku temui langsung kabur, mereka seolah melakukan telepati dengan saraf-saraf refleksku. Sial. Satu-satunya cowok yang ada waktu itu adalah si D. Dia emang suka gemeteran kalau lagi di atas panggung, tapi  dia mau jadi MC karena dia tanggung jawab, setidaknya itu bisa membuatku sedikit lega. “Sip. Diem disini aja ya. Aku mau nyari yang lain. Jangan kabur”. Sayangnya, semua berubah ketika aku kembali. Dia sudah tidak ada disana, seperti yang ku tebak. Akhirnya, muter-muter sekolah lagi nyari temen cowok yang siapa tahu tiba-tiba muncul kena sihir jin-nya Alladin. Dan yeaay!! Tiga temen cowok ketangkap basah lagi jalan-jalan. Dengan pemaksaan ala romusha dan sedikit penyudutan atas kesalahan yang dilakukan waktu seleksi band kemarin, akhirnya salah satu temenku mau jadi MC. Rasanya ayem.
Di aula, aku dan beberapa temanku sudah bersiap menjadi cheerleader, menyiapkan gaya seheboh mungkin biar nggak suwung. Kelas kami dapat nomor undian 14, sedangkan saat ini peserta nomor 10 sudah unjuk gigi di depan panggung. MC cowok kami belum datang, tadinya beralasan mencari kostum untuk parade seni yang akan datang tiga hari lagi. Dengan panik dan gemetar, aku menghubunginya. Nggak diangkat. Kami berharap dia segera datang dengan asumsi dapat berlatih terlebih dahulu, karena nyatanya kelas kami sama sekali belum berlatih dan sangat dadakan memilih MC. Dengan rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan atas didorongkan dengan keinginan luhur kami (?), akhirnya yang dicari muncul dari pintu aula. Seolah paru-paru kami yang tadinya dihimpit besi kini bertaburan bunga-bunga. Finally, kelas kami tampil. Kami sang cheerleaders berteriak bak orang kehilangan akal di sudut aula, menyoraki setiap ocehan jagoan MC kelas kami. Hasilnya cukup baik dan tidak mengecewakan.
Setelah itu, aku benar-benar tidak tahu apa yang harus ku lakukan di sekolah. Akhirnya, aku memutuskan untuk kembali ke kos dan pulang ke RUMAH kampung halaman. Besok aku tidak akan pergi ke sekolah, keputusan ini sudah ku pikirkan bulat-bulat karena sepertinya tidak ada yang bisa ku kerjakan di sana. Bukankah lebih baik di rumah dan berkumpul bersama keluarga? Sebenarnya, aku ingin mengajak sembilan teman SMPku yang bersekolah di SMA yang sama untuk berkunjung ke SMP keesokan harinya. Ku rasa, mereka akan sibuk. Jadi, aku mengurungkan niatku. Padahal nggak sibuk juga sih.
Seperti biasa, sebelum pulang kampung aku sudah mengemasi barangku tadi malam. Ku coba menghubungi nesya, sahabatku semenjak SMP yang bersekolah di SMA yang satu kota dengan SMAku. Ternyata, dia sudah meninggalkan kota ini sejak tadi pagi. Vivi tidak mungkin pulang sore ini karena besok dia masih harus hadir di sekolah, meskipun dipastikan dia bosan karena tidak mengerjakan apa-apa, sistem absen sekolahnya yang ketat adalah satu-satunya faktor yang membuang keinginannya cepat-cepat pulang kampung, aku tahu itu. Sedangkan Ais semakin tidak mungkin pulang sore ini. Dia mengambil program akselerasi sehingga dia masih mengikuti KBM, selain itu dia lebih sering pulang ke rumah neneknya di karanganyar ketimbang pulang ke purwodadi. Bukannya dia tak mau pulang ke purwodadi, tapi dia akan merasa capek jika harus pulang seminggu sekali. Aku sendiri tidak terlalu akrab dengan teman-teman SMPku yang sekarang satu SMA denganku, tidak ada dari mereka yang merupakan bagian dari 9H sepertiku sehingga aku sedikit canggung. Aku lebih suka pulang bersama  nesya, vivi, atau ais meskipun kini kami berbeda almamater. Namun, dahulu kami juga satu almamater, lulusan dari kelas dan SMP yang sama, sehingga kami sangat akrab dan bersahabat. Akhirnya, aku pulang sendiri. Tak apa, aku sudah biasa seperti ini.
Di dalam bus perjalanan pulang, aku tidur. Aku lelah karena harus lembur berhari-berhari, ku rasa ini saatnya beristirahat dan lepas dari aktivitas yang memusingkan. Aku lantas terbangun saat bus melewati daerah hutan di sekitar gundih, sesekali menyantap roti yang ku beli tadi malam untuk sekadar menghilangkan lapar, beberapa kali meneguk air putih agar tidak terlalu sulit ku kunyah roti itu. Aku selalu merasakan sesuatu berbeda saat melintasi jalan ini. Aku berpikir tentang orang tuaku, sahabat-sahabatku, adik-adikku, masa depanku, dan seseorang yang ku kenal lima tahun lalu. Perenungan yang begitu sunyi dan manis. Aku menyukai atmosfir ini karena aku dapat berhayal dan memunculkan motivasi yang muncul dari dalam hati. Aku merasa lebih  bersemangat dan ingin melakukan suatu perubahan menjadi pribadi yang lebih baik.
              Pukul setengah satu aku sampai di kotaku, perjalanan satu  setengah jam yang ku tempuh cukup melelahkan. Seperti biasa, aku menunggu jemputan di emperan toko dekat simpang lima. Ibu bilang bahwa bapak yang akan menjemputku. Setelah cukup lama menunggu, bapak tak kunjung datang. Ku coba menghubungi beliau, namun tak ada jawaban. Belakangan baru ku sadari bahwa beliau melakukan ibadah shalat jumat. Benar. Beberapa menit kemudian bapak datang. “Tadi bapak habis sholat jumat, abis itu ambil berkas dulu di kantor. Jadi agak lama”, bapak meminta maaf. Tak apa. Bapak sudah sangat baik merelakan waktunya untukku.
              Di tengah jalan, kami bertemu penjual bakwan malang langgananku semasa SMP. “Itu langgananmu bukan ra?”. Aku mengangguk, “Iya, itu lik malang”. Bapak kemudian menghentikan motornya, mengajakku menikmati bakwan malang kesukaanku baik dulu maupun sekarang. Perlahan, sesuatu yang baru setengah jalan ku tata berantakan kembali, aku harus menatanya dari awal lagi. Kenangan semasa SMPku yang begitu indah tidak mudah dilupakan. Aku tidak bermaksud untuk melupakan, aku hanya ingin menyimpannya agar sesekali aku dapat menengoknya kembali. Namun kenangan itu begitu nakal dan tidak mau penisun beberapa masa, ia selalu muncul di permukaan dan serasa ingin diulang terus menerus. Aku memang sudah tidak berbalut kain biru-putih lagi. Inilah hidupku yang sekarang dan mau-tak mau harus ku hadapi, sendiri di kota orang dengan menggunakan seragam putih abu-abu. Ini memang tidak seindah dan semudah masa-masa SMP, tapi aku berharap akan lebih indah. Mungkin ini belum, ku anggap baru beradaptasi.  Life is flows and i hope so am i.
              Kami lantas melewati jalan yang ku sebut keramat. Ku sebut begitu bukan karena jalan itu berhantu. Namun, jalan itu menyimpan terlalu banyak kenangan. Sekali lagi, benda-benda itu muncul ke permukaan setelah tadi dapat ku redam sedikit. Bisa disebut menyengkan, menyedihkan, atau mengenaskan. Setelah graduation day, tepatnya enam bulan lebih dua belas hari yang lalu, aku tidak pernah bertemu dengan sosok ini, sebut saja Z. Tentu saya aku merindukannya, dahulu bertemu dengannya setiap hari bukanlah hal yang mustahil, namun kini bertemu dengannya setelah tidak bertemu enam bulan adalah hal yang sangat mustahil. Bahkan, tidak dapat ku bilang kami bertemu, tepatnya hanya mata kami yang bertemu, hanya beberapa detik dan mengaduk perasaan satu sama lain. Dari dulu, aku selalu tahu apa yang ia rasakan melalui pandangan matanya, bola matanya, begitupun sekarang. Tidak ada yang berubah, tas sekolahnya masih belum penisun (Sama seperti tasku), mata dan pandangannya masih sama, raut mukanya yang angkuh, potongan rambutnya yang selalu cepak, ekspresi datarnya, gayanya, semuanya masih sama. Pertemuan kali ini sama sekali tak terduga. Pertemuan yang membuatku tidak menghiraukan apa yang diomongkan bapak dan terus menggenggam tanganku erat. Yang membuatku ingin berteriak dan mengatakan bahwa aku masih  sama seperti dulu. Yang membuatku ingin berkata bahwa aku sangat merindukannya dan ingin bertemu dengannya setiap hari, seperti dahulu. Yang mendorongku ingin menannyakan apakah perasaannya masih sama seperti dahulu. Untuk yang terakhir, sepertinya tak perlu balasan. Karena menurut spying-ku, dia telah menemukan puzzle yang lain, yang lebih cocok. Tak apa, aku tak perlu bersedih karena hari itu aku cukup senang. Hanya mengingat pertemuan hari itu sudah membuatku ingin meledak kegirangan. Ubun-ubunku serasa tertarik ingin terbang.


 Sesekali aku berpikir, dapatkah kita berjumpa lagi lain kali?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ANTOLOGI PUISI

DRAMA ANEKDOT: ARGOMETER JEPANG MUTER SANGAT CEPAT DENGAN PENGEMBANGAN

BENUA ASIA