Catatan 19 Mei 2014: PULANG



               
Nhay menyibak ombak yang berlarian berlomba mengejar fondasi rumah yang menyatu dengan pantai. Di belakang rumahnya ini, seraya duduk di kerangka rumah yang baru setengah jadi, ia begitu menikmati senja terakhirnya di rumah, sebelum besok ia akan bertolak ke kota puluhan kilometer nun jauh disana. Sebenarnya secara jarak tidak jauh, hanya ia merasa sangat jauh karena tidak dapat menjumpai wajah-wajah orang yang disayanginya setiap hari, seperti dahulu ketika ia masih benar-benar tinggal disini. Hanya jauh karena ia tidak dapat memeluk ibu ketika resah atau sedih, tidak bisa bercerita pada Ayah ketika hati tak tahu kemana arahnya, tidak bisa menjahili kedua adik kembarnya yang nakal minta ampun, atau sekadar menghirup udara bebas rumah, yang bersih dan hangat, penuh dengan kasih sayang dan ketulusan.
Hanya satu alasan pokok yang mendorongnya pergi jauh dari rumah, menatap nanar teman-teman sekelas yang tiap pagi membawa bekal bikinan ibu mereka, atau menunggu jemputan di gerbang sekolah hingga larut malam. Ia hanya ingin mendapatkan pendidikan yang lebih baik, mengejar cita-citanya yang sudah paten dan tidak dapat diganggu-gugat, apapun yang terjadi. Bagaimanapun, awalnya itu hanyalah keinginan pribadinya sejak kelas tujuh semata, yang ditolak mentah-mentah olah ayahnya dengan alasan belum bisa menjaga diri, dengan paksaan dan penyerahan bukti nyata, ia harus bersyukur karena sekarang mimpi kecil anak ingusan itu terwujud.
Segala efek samping  yang timbul sekarang ini, haruslah ditelan bersama keluarga kecil yang selalu mencokol hati, tentang rindu yang membuncah setiap waktu dan kesepian teramat dalam yang sewaktu-waktu terjadi. Di rumah yang penuh dengan ventilasi dan diterpa angin pantai langsung, disanalah ia tinggal. Namun sekarang ia harus meringkuk sendiri di ruangan teramat kecil yang jauh dari udara luar. Ia terbiasa berteriak sekeras toa di rumah, menari-nari gila hingga diejek mati-matian, melakukan hal-hal konyol dengan dirinya sendiri, mengganggu adik, membantu ibu dan belajar menjadi wanita sejati, berdebat dengan Ayah hingga larut malam, dan sesekali tidur sehari semalam. Sekarang ini, ia hanya menjadi seekor mollusca yang berdebu. Diam dan sepi di dalam atap yang sempit. Berangan-angan agar hari berjalan sangat cepat, agar ia dapat pulang ke rumahnya di tepi pantai.
Sudah makan apa belum nak? sama apa? baru pulang? nggak capek? jangan lupa makan makanan bergizi, soalnya kamu kegiatannya banyak, jangan sampai sakit. Nhay kerap merindukan Ibu dan ayahnya ketika pesan singkat semacam itu dikirimkan. Ia benar-benar sendiri disini, tanpa siapapun yang sudah ia kenal baik lebih dari setahun. Semenjak pergi, ia baru merasakan apa itu arti keluarga dan sahabat. Penghilang kesepian nyata yang menerima kita apa adanya, itulah dia. yang tiap orangnya membawa satu warna di sketsa kehidupan yang sudah digambarkan Allah SWT. sebelumnya.
Nhay menatap matahari yang nyaris ditelan laut. Ia menghirup bau desanya yang mirip ikan berkali-kali, memejamkan mata, membukanya, dan mengeluarkan nafas dengan amat hati-hati. Suasana seperti ini tidak akan ia dapatkan di kota yang menjadi saksi bisu perjuangannya kini, perjuangan kecil mengejar cita-cita mulia. Selalu ada perjuangan nyata di balik kesuksesan, ia percaya. Sekarang ada sahabat-sahabat barunya yang ia dapatkan di sekolah, di kelas, organisasi, maupun teman kos yang sudah seperti saudara sendiri. Tapi mereka bukanlah orang yang sama dengan yang diceritakan di atas.
Nhay kemudian menggunakan kedua tangan untuk menopang badannya berdiri. Sudah malam, ia harus segara  beribadah. Sedetik waktu tidak boleh disia-siakan ketika di rumah. Lagipula, ia harus segera tidur. besok, sebelum muadzin termahsyur se-desanya mengumandangkan adzan, ia harus sudah angkat kaki dari rumah ini. ia harus sudah mengenyam nasib di kota orang, lagi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ANTOLOGI PUISI

DRAMA ANEKDOT: ARGOMETER JEPANG MUTER SANGAT CEPAT DENGAN PENGEMBANGAN

BENUA ASIA